Pendahuluan
Panitia seminar mengundang penulis membahas perkembangan perpustakaan di Indonesia. Topik ini selalu menarik karena dalam dunia itulah kita para pustakawan berkarya. Kita memang seharusnya tetap mengikuti dan merancang perkembangannya. Namun sejak akhir 2001 kegiatan penulis sudah tidak lagi langsung mengelola lembaga sejenis perpustakaan sehingga mungkin tidak akan lengkap mengulasnya. Ibaratnya pohon, apa yang menjadi perhatian penulis saat kini lebih pada bagian yang ada di bawah tanah. Khususnya anatomi akar, fungsi, cara kerja dan kekuatannya. Perkembangan perpustakaan seperti yang diminta oleh panitia seminar, ibaratnya pohon, lebih banyak melihat yang ada di atas tanah. Dengan kata lain, bagaimana tumbuhan itu berkembang, berbunga, berbuah dan ditangkarkan. Logikanya pertumbuhan dan perkembangan itu tidak akan terjadi apabila akar tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan benar. Oleh karena itu penulis membahas lebih dahulu hal yang tidak segera tampak dan jarang dilihat tentang perpustakaan, sebelum membahas sketsa perkembangan perpustakaan. Penulis sengaja memilih kata refleksi dalam judul tulisan ini.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia pada lema refleksi, butir 3 menyatakan artinya adalah: cerminan atau gambaran. Dengan kata refleksi ini penulis melihat perkembangan perpustakaan Indonesia seperti yang dipantulkan oleh cermin yang kebetulan penulis pakai. Harus diakui bahwa cermin yang penulis miliki mungkin tidak dapat menangkap semua objek. Dengan demikian gambaran itu memang tidak lengkap merinci perkembangan perpustakaan Indonesia, hanya sketsanya saja. Karena perpustakaan adalah lingkungan kerja kita, maka kata refleksi bermakna juga agar kita menengok ke dalam diri kita. Dalam hal ini tentunya tentang kemampuan dan sikap kerja kita sebagai pustakawan. Dengan kata lain kita akan membahas kepustakawanan kita. Banyak pertanyaan tentang arti kepustakawanan. Namun untuk tulisan ini penulis mengartikan kepustakawanan adalah ilmu dan pengetahuan yang dimiliki, dipahami, dihayati dan dikembangkan untuk melaksanakan tugas dan kegiatan perpustakaan. Memiliki ilmu karena memang ada sekolahnya. Memahami merupakan keadaan lebih tinggi dari sekedar memiliki karena betul-betul mengetahui dan menghargai. Menghayati karena memang memakainya dalam hidup keseharian.
Mengembangkan sebagai konsekuensi profesional (tidak ada pengajar sekolah perpustakaan yang tidak mengatakan bahwa sarjana perpustakaan adalah profesional). Namun apakah dalam praktik sehari-hari memang sudah dicapai tingkat keprofesionalan yang benar? Mungkin pertanyaan ini juga perlu kita jawab dalam refleksi kita. Tulisan ini memang lebih merupakan pendapat pribadi penulis yang telah menjalani hidup bekerja pada lembaga sejenis perpustakaan untuk masa yang cukup lama. Ternyata tidak mudah menemukan jawab yang memuaskan, dan nampaknya kita harus selalu terus mencari dan mengembangkan jawab yang benar. Dapat dikatakan bahwa profesi pustakawan adalah profesi yang berjuang dan menjadikan kepustakawnan sebagai jalan dan semangat hidup.
Menjawab Arti Perpustakaan Bagi pustakawan tentu tidak lagi ragu untuk menjawab arti perpustakaan. Namun bagaimana jawab atas pertanyaan ini oleh masyarakat umum? Coba saja kita tanyakan kepada setiap orang yang kita temui dalam pergaulan kita, apa arti perpustakaan bagi mereka. Tentu akan terdapat beragam jawab baik yang menjawab arti seperti definisi kamus ataupun arti sebagai kegunaan bagi dirinya. Dari jawaban mereka dapat kita duga bahwa masyarakat umum belum memiliki pengertian yang standar tentang perpustakaan. Bahkan mungkin jawab mereka membuat kita kecewa.
Ada situasi lain yang patut kita pertanyakan. Saat ini banyak kegiatan orang kaya yang mencoba bersifat filantropi. Apabila ada kegiatan untuk mendirikan balai kesehatan, tentu dia mencari dokter dan perawat. Ada kegiatan mendirikan sekolah, tentu dia mencari guru. Ada juga kegiatan membangun perpustakaan atau taman baca, apakah dia mencari pustakawan? Kalau ternyata jawabannya tidak mencari pustakawan lalu fenomena apa ini? Apakah pustakawan yang tidak dapat memasarkan dirinya? Sehingga sekolah perpustakaan dituntut harus mengajarkan mata kuliah pemasaran?
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang perkembangan perpustakaan, ada baiknya kita ingatkan kembali akan fungsi perpustakaan seperti yang selama ini diajarkan oleh pendidikan perpustakaan. Menurut ajaran resmi terdapat lima fungsi perpustakaan yaitu: fungsi pelestarian, fungsi informasi, fungsi pendidikan, fungsi rekreasi dan fungsi budaya. Ilustrasi lebih lanjut dapat dibaca pada buku karya Profesor Sulistyo Basuki. Pertanyaan yang ingin penulis ajukan di sini adalah apakah pustakawan kita benar telah memahami dan menghayati fungsi tersebut? Setelah itu terjawab tentunya disusul dengan pertanyaan apakah juga sudah mengembangkannya dalam pengelolaan perpustakaan? Menurut pengamatan penulis, kelima fungsi itu ternyata tumbuh tidak seimbang. Nampaknya fungsi informasi justru menjadi konsentrasi usaha perpustakaan kita. Apalagi diteriakkan eranya era informasi dan sekaligus menggunakan teknologi informasi. Seakan-akan perpustakaan harus menjadi pusat informasi. Padahal kalau ajaran sekolah perpustakaan itu benar, maka layanan informasi itu hanyalah sebagian dari seluruh layanan perpustakaan! Apakah kita akan membangun perpustakaan yang utuh apabila hanya menekankan pada fungsi informasinya saja? Analogi ini dapat juga kita pakai untuk menjawab tentang status taman bacaan dari titik pandang perpustakaan. Taman bacaan mungkin belum sepenuhnya memiliki semua fungsi sebagai perpustakaan ideal. Penulis lebih suka mengatakan bahwa taman bacaan menjadi sub sistem dari sistem perpustakaan ideal. Atau dengan kata lain penulis katakan bahwa taman bacaan merupakan salah satu keping dari “jigsaw puzzle” yang apabila dirangkai dengan keping lain akan membentuk gambar perpustakaan yang indah. Oleh karena itu jangan sampai ada pribadi yang menyebut dirinya pustakawan sampai menolak bahkan memusuhi taman bacaan atau upaya sejenisnya. Demikian pula posisi penerbit dengan perpustakaan. Mungkin dahulu ada kesalahan pendekatan perpustakaan kepada penerbit. Nampaknya penerbit melihat perpustakaan hanyalah sebagai lembaga yang meminta donasi buku. Padahal penerbit adalah lembaga pencari untung. Siapa mau memberikan bagian keuntungannya kepada pihak lain? Posisi penerbit dan perpustakaan sebenarnya ada dalam satu sistem juga yaitu sistem perbukuan nasional. Harus diingat bahwa buku mencerminkan tingkat budaya bangsa, dan perpustakaan mengemban fungsi pelestarian dan sekaligus juga fungsi budaya, maka adalah mutlak penerbit memenuhi undang-undang serah simpan karya cetak. Sebenarnya apabila masyarakat sudah dapat mengetahui dan memahami kelima fungsi perpustakaan di atas, tentu perpustakaan juga menjadi bagian dari hidup keseharian mereka. Kita lihat saja dari fungsi pendidikan dan rekreasi. Dengan tuntutan keadaan belajar sepanjang hidup, maka tidak dapat disangkal bahwa buku bmerupakan salah satu sumber pengetahuan. Akses terhadap sumber pengetahuan ini terletak pada perpustakaan yang dikembangkan mengikuti kebutuhan
masyarakat sendiri. Memakai pertimbangan ekonomi akan lebih murah apabila
masyarakat membangun perpustakaan secara gotong royong dan
menggunakannya bersama.
masyarakat sendiri. Memakai pertimbangan ekonomi akan lebih murah apabila
masyarakat membangun perpustakaan secara gotong royong dan
menggunakannya bersama.
Pada negara yang sudah teratur administrasi urusan pajaknya, gotong-royong masyarakat ini diwujudkan dengan membayar pajak. Sebagian akumulasi setoran pajak itu dialokasikan untuk membangun fasilitas masyarakat yang salah satunya berupa perpustakaan umum. Mengapa juga masyarakat tidak pernah menuntut fasilitas perpustakan ini kepada pemerintah? Mungkin jawabnya adalah belum dimengerti dan dipahaminya fungsi perpustakaan oleh masyarakat. Siapa yang harus menerangkan hal ini? Tentu kita yang menyebut diri pustakawan ini kan?
Pertanyaan usil saja: “Apakah Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) atau Perpustakaan Nasional berani mengusulkan agar ada alokasi dana kompensasi kenaikan BBM untuk membangun perpustakaan umum?” Agar masyarakat umum dapat menjawab arti perpustakaan dengan benar, adalah kewajiban dan tanggung jawab pustakawan dan calon pustakawan untuk benarbenar memahami dan menghayati fungsi perpustakaan seperti yang diajarkan oleh sekolah perpustakaan. Langkah berikutnya adalah upaya menerangkan atau memasarkannya kepada masyarakat. Setelah itu agar perpustakaan juga berkembang mengikuti jaman, perlu pengembangan fungsi-fungsi tersebut secara tepat. Namun semua ini hanya dapat dilaksanakan dengan efektif apabila ada sikap profesionalisme di kalangan pustakawan. Profesionalisme ini jelas perlu diajarkan di setiap sekolah perpustakaan.
Profesionalisme Pustakawan Istilah profesional sering kita dengar dan bahkan kita sendiri juga sering mengucapkannya. Dunia olah raga mengenal olahragawan profesional dan amatir. Demikian juga dalam tarik suara, ada penyanyi profesional dan penyanyi amatir. Masih banyak contoh sebutan profesional atau amatir. Istilah profesional biasanya dipakai untuk menunjukkan status si pelaku yang karena keahliannya memang harus dibayar untuk menampilkan kemampuannya, sedang amatir lebih karena hobi atau sekedar untuk “fun”. Dalam masyarakat umum terdapat pengertian bahwa profesional selalu dikaitkan dengan keahlian dan dengan tinggi rendahnya bayaran seseorang dalam melaksanakan tugasnya. Mutu hasil kerja yang kurang baik sering juga disebut kerja tidak profesional atau amatiran. Dengan istilah amatiran ini menjadikan status amatir agak negatif dari segi mutu, meskipun ini tidak berlaku mutlak. Bagi seorang profesional mutu kerja harus tinggi karena dia dibayar untuk melakukan tugasnya, Dengan kata lain dia harus bertanggungjawab atas apa yang dia kerjakan. Apabila mutunya tidak memuaskan tentu dia tidak akan laku.
Dengan demikian istilah profesional minimal harus mempertimbangan dua hal yaitu dari sisi kemampuan pelaku dan mutu hasil karyanya. Kedua-duanya harus ada pada tingkat yang cukup tinggi untuk dapat dikatakan sebagai profesional. Apabila dua hal tersebut berada pada tingkat yang tinggi, sudah selayaknya keduanya juga dihargai tinggi. Dengan kata lain harga seorang profesional sebanding dengan mutu hasil kerjanya. Namun apakah hanya masalah mutu dan harga saja karakter profesional itu? Harefa menyebut sedikitnya ada 13 hal yang menjadi karakter seorang dapat disebut profesional, yaitu:
1. Bangga pada pekerjaan, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas;
2. Berusaha meraih tanggung jawab;
3. Mengantisipasi dan tidak menunggu perintah, menunjukkan inisiatif;
4. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas;
5. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang
telah ditetapkan untuk mereka;
6. Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah bagi orang yang mereka layani;
7. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang yang mereka layani;
8. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang yang mereka layani;
9. Belajar memahami dan berpikir seperti orang yang mereka layani sehingga bisa mewakili mereka ketika orang itu tidak ada di tempat;
10. Adalah pemain tim;
11. Bisa dipercaya memegang rahasia;
12. Jujur, bisa dipercaya, dan setia;
13. Terbuka terhadap kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.
1. Bangga pada pekerjaan, dan menunjukkan komitmen pribadi pada kualitas;
2. Berusaha meraih tanggung jawab;
3. Mengantisipasi dan tidak menunggu perintah, menunjukkan inisiatif;
4. Mengerjakan apa yang perlu dikerjakan untuk merampungkan tugas;
5. Melibatkan diri secara aktif dan tidak sekedar bertahan pada peran yang
telah ditetapkan untuk mereka;
6. Selalu mencari cara untuk membuat berbagai hal menjadi lebih mudah bagi orang yang mereka layani;
7. Ingin belajar sebanyak mungkin mengenai bisnis orang yang mereka layani;
8. Benar-benar mendengarkan kebutuhan orang yang mereka layani;
9. Belajar memahami dan berpikir seperti orang yang mereka layani sehingga bisa mewakili mereka ketika orang itu tidak ada di tempat;
10. Adalah pemain tim;
11. Bisa dipercaya memegang rahasia;
12. Jujur, bisa dipercaya, dan setia;
13. Terbuka terhadap kritik yang membangun mengenai cara meningkatkan diri.
Masih banyak lagi teori dibelakang pengertian tenaga profesional. Dikatakan ada empat atribut profesional yaitu:
1. Ketrampilan tinggi yang didasarkan pada pengetahuan teoritis dan sistematis
2. Pemberian jasa yang altruistis, artinya lebih berorientasi kepada kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan pribadi;
3. Adanya pengawasan yang ketat atas perilaku pekerja melalui kode etik yang dihayati dalam proses sosialisasi pekerjaan;
4. Suatu sistem balas jasa (berupa uang, promosi, jabatan, dan kehormatan) yang merupakan lambang prestasi kerja.
1. Ketrampilan tinggi yang didasarkan pada pengetahuan teoritis dan sistematis
2. Pemberian jasa yang altruistis, artinya lebih berorientasi kepada kepentingan umum dibandingkan dengan kepentingan pribadi;
3. Adanya pengawasan yang ketat atas perilaku pekerja melalui kode etik yang dihayati dalam proses sosialisasi pekerjaan;
4. Suatu sistem balas jasa (berupa uang, promosi, jabatan, dan kehormatan) yang merupakan lambang prestasi kerja.
Menurut David H Maister seperti dikutip Harefa, bahwa profesionalisme adalah terutama masalah sikap, bukan seperangkat kompetensi. Seorang profesional sejati adalah seorang teknisi yang peduli. Lebih tinggi lagi dikatakan juga bahwa profesionalisme adalah buah cinta. Ibaratnya seorang menikah dengan profesi yang dipilihnya, sehingga melahirkan anaknya yang disebut profesionalisme. Akankah pendidikan perpustakaan menghasilkan pustakawan profesional? Dan siapkah lembaga perpustakaan menjadi ladang subur bagi profesionalisme pustakawan? Akar dari profesionalisme sebenarnya adalah idealisme yang tertulis dalam kode etik yang dianut oleh sebuah profesi.
Bagaimanakah dengan Iidealisme dan etika pustakawan? Pengertian Idealisme Secara mudah idealisme dapat diartikan sebagai cita-cita yang ingin dicapai oleh seseorang atau kelompok orang. Idealisme bukan sebarang cita-cita, namun citacita yang tinggi dan luhur, suatu nilai kebenaran dan harga diri, serta hasrat untuk mencapai hasil yang istimewa. Pada dasarnya setiap orang mempunyai idealisme, dan merupakan salah satu hal penting dalam hidup seseorang. Dengan idealisme orang dapat melakukan hal yang luar biasa, bertahan pada suatu prinsip yang diyakini bahkan rela hidup menderita demi mempertahankan pandangan dan kehormatan.
Untuk apa mempertahankan idealisme? Jawabnya, untuk mendapatkan kepuasan jiwa yang begitu mahal harganya. Kepuasan dan kebahagiaan itu, tentu saja tidak dapat diukur dengan nilai uang atau materi. Konsep ini dalam filsafat dikenal sebagai idealisme etis. Cita-cita manusia mengarah kepada tingkah laku dan kesusilaannya. Manusia itu amat tinggi derajatnya karena akal budinya, dan karena itu manusia lebih tinggi dari makhluk lain di dunia ini. Dikenal pula idealisme estetis yang menganggap kebaikan tertinggi adalah keindahan. Berarti manusia harus indah. Indah dalam hal ini adalah indah baik rohani maupun jasmaninya. Keindahan ini dicapai dengan menyempurnakan dirinya dan menyelaraskan segala kemampuannya dengan keadaan dunia yang mengelilinginya. Pada prakteknya kini ditempuh jalan tengah yang dikenal dengan idealisme realistis. Konsep ini berpangkal pada realita bahwa manusia terdiri dari jasmani dan rohani. Dua-duanya tidak boleh diabaikan karena keduanya yang menjadikan manusia. Oleh karena itu sering muncul dua kutub
idealisme dan realita yang nampaknya saling bertentangan.
idealisme dan realita yang nampaknya saling bertentangan.
Peran idealisme ternyata semakin penting dalam perubahan yang harus dilakukan pada masa kini. Gede Raka menyebut beberapa fungsi idealisme, yang antara lain adalah: penghela transformasi, penumbuh komitmen, penunjuk arah transformasi, pengendali masa depan, dan penumbuh perasaan bahwa dia melakukan sesuatu yang berarti, penting dan bermakna. Perubahan yang mengarah pada perbaikan, mutlak harus dikerjakan bangsa ini yang sampai sekarangpun belum selesai dengan reformasinya. Semua itu memerlukan pengelolaan atau manajemen yang tepat. Berbagai konsep manajemen telah berkembang dan akhir-akhir ini terkenal dengan konsep manajemen pengetahuan. Konsep ini walaupun sudah dikenalkan kepada kalangan pustakawan di Indonesia sejak 1998, namun nampaknya masih juga asing bagi kebanyakan perpustakaan. Pendekatan manajemen pengetahuan inilah yang perlu dilakukan oleh pustakawan dalam mereformasi keadaannya. Idealisme Pustakawan Menurut IPI Mencari idealisme pustakawan menurut IPI dapat ditelusuri dalam dokumen resminya. Berikut ini dikutipkan beberapa pokok pernyataan dalam dokumen resmi IPI agar dapat dipakai untuk mencari idealisme pribadi pustakawan. Sengaja dikutip agak lengkap karena makalah ini tidak akan menyimpulkan idealisme pustakawan, namun lebih mengajak pustakawan untuk membangun idealismenya. Di dalam mukadimah AD IPI pernyataan idealisme ini tersirat antara lain dalam penggalan kalimat: “… rasa tanggung jawab untuk ikut serta dalam usaha mencapai tujuan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa …” Selanjutnya rasa tanggung jawab ini “…dilandasi pada pengertian, keinsyafan dan keyakiinan bahwa perpustakaan dengan segala aspek kegiaannya mempunyai fungsi dan peranan penting dalam membangun bangsa dan negara …” Oleh karena itu: “… Pustakawan Indonesia berikrar untuk bersatu guna bersama-sama memberikan sumbangan dalam pembangunan negara dan bangsa di bidang pendidikan, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.” Selain itu perlu disimak juga apa yang tercantum dalam batang tubuh anggaran dasar itu.
Bagian itu antara lain adalah Pasal 7 dan Pasal 8 yang manyangkut tujuan IPI dan kegiatannya. Pasal 7: Tujuan
1. Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia
2. Mengembangkan ilmu perpustakaan dokumentasi dan informasi
3. Mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan negara RI.
1. Meningkatkan profesionalisme pustakawan Indonesia
2. Mengembangkan ilmu perpustakaan dokumentasi dan informasi
3. Mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk bangsa dan negara RI.
Pasal 8: Kegiatan
1. Mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan ilmiah di bidang
perpustakaan, dokumentasi dan informasasi di dalam dan luar negeri
2. Mengusahakan keikutsertaan pustakawan dalam pelaksanaan program
pemerintah dan pembangunan nasional di bidang perpustakaan,
dokumentasi dan informasi.
3. Menerbitkan pustaka dan atau mempublikasikan bidang perpustakaan,
dokumentasi dan informasi.
4. Membina forum komunikasi antar pustakwan dan atau kelembagaan
perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Kode Etik IPI
1. Mengadakan dan ikut serta dalam berbagai kegiatan ilmiah di bidang
perpustakaan, dokumentasi dan informasasi di dalam dan luar negeri
2. Mengusahakan keikutsertaan pustakawan dalam pelaksanaan program
pemerintah dan pembangunan nasional di bidang perpustakaan,
dokumentasi dan informasi.
3. Menerbitkan pustaka dan atau mempublikasikan bidang perpustakaan,
dokumentasi dan informasi.
4. Membina forum komunikasi antar pustakwan dan atau kelembagaan
perpustakaan, dokumentasi dan informasi. Kode Etik IPI
Selanjutnya marilah kita lihat juga kode etiknya. Kode etik inilah yang seharusnya diketahui, dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh pustakawan Indonesia. Sayang sosialisasi oleh IPI kurang efektif. Di sisi lain, apakah semua pustakawan Indonesia juga mau mempelajari dan melaksanakannya? Dokumen kode etik pustakawan hanya terdiri atas dua bab, yaitu tentang kewajiban dan sangsi. Inti idealisme pustakawan ada di dalam bab kewajiban, yang terdiri atas kewajiban kepada: bangsa dan negara; masyarakat; profesi; rekan sejawat; dan kewajiban pada pribadi. Kewajiban kepada bangsa dan negara:
Pustakawan menjaga martabat dan moral serta mengutamakan pengabdian dan tanggung jawab kepada instansi tempat bekerja, bangsa dan negara. Kewajiban kepada masyarakat:
1. Pustakawan melaksanakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada setiap pengguna secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan prosedur pelayanan perpustakaan, santun dan tulus
2. Pustakawan melindungi kerahasiaan dan privasi menyangkut informasi yang ditemui atau dicari dan bahan pustaka yang diperiksa atau dipinjam pengguna perpustakaan.
3. Pustakawan ikut ambil bagian dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat dan lingkungan tempat bekerja, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, usaha sosial dan kebudayaan
4. Pustakawan berusaha menciptakan citra perpustakaan yang baik di mata masyarakat
Kewajiban kepada profesi:
1. Pustakawan melaksanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga IPI dan kode etik pustakawan Indonesia.
1. Pustakawan melaksanakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada setiap pengguna secara cepat, tepat dan akurat sesuai dengan prosedur pelayanan perpustakaan, santun dan tulus
2. Pustakawan melindungi kerahasiaan dan privasi menyangkut informasi yang ditemui atau dicari dan bahan pustaka yang diperiksa atau dipinjam pengguna perpustakaan.
3. Pustakawan ikut ambil bagian dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat dan lingkungan tempat bekerja, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, usaha sosial dan kebudayaan
4. Pustakawan berusaha menciptakan citra perpustakaan yang baik di mata masyarakat
Kewajiban kepada profesi:
1. Pustakawan melaksanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga IPI dan kode etik pustakawan Indonesia.
2. Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.
3. Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan dokumentasi.
Kewajiban kepada rekan sejawat: Pustakawan memperlakukan rekan sekerja berdasarkan sikap saling menghormati, dan bersikap adil kepada rekan sejawat serta berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka.
Kewajiban kepada pribadi:
1. Pustakawan menghindarkan diri dari menyalahgunakan fasilitas perpustakaan untuk kepentingan pribadi, rekan sekerja dan pengguna tertentu.
2. Pustakawan dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan kegiatan profesional kepustakawanan
3. Pustakawan berusaha meningkatkan dan memperluas kemampuan diri dan profesionalisme.
1. Pustakawan menghindarkan diri dari menyalahgunakan fasilitas perpustakaan untuk kepentingan pribadi, rekan sekerja dan pengguna tertentu.
2. Pustakawan dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan kegiatan profesional kepustakawanan
3. Pustakawan berusaha meningkatkan dan memperluas kemampuan diri dan profesionalisme.
Sketsa Perkembangan Perpustakaan Sketsa yang penulis sampaikan merupakan penggambaran kembali secara garis besar atas apa yang terjadi dengan perkembangan perpustakaan di Indonesia. Penulis membuat sketsa dengan Pendekatan sistem dan memakai kerangka logis atas situasi mendatang. Teori umum sistem (general system theory) mengatakan bahwa ada delapan tingkat sistem mulai dari: daftar, jam, termostat, sel. tumbuhan, binatang, manusia, dan sistem sosial. Perpustakaan termasuk dalam sistem sosial ini.
Perpustakaan disebut juga sebagai “living organism”, karena itu perpustakaan merupakan fungsi ruang dan waktu. Hal ini berarti bahwa pada tempat yang berbeda pertumbuhan perpustakaan dapat juga berbeda. Demikian juga dengan waktu. Berbeda waktu mengakibatkan perbedaan pula. Apalagi berbeda ruang dan waktu jelas akan berbeda. Oleh karena itu tidak ada perpustakaan yang seragam.
Upaya menyeragamkan perpustakaan bertentangan dengan logika. Parameter utama bagi perpustakaan adalah masyarakat, karena memang perpustakaan melayani masyarakatnya. Masyarakat adalah himpunan orang dan orang juga merupakan “living organism” yang juga merupakan fungsi ruang dan waktu adalah masyarakat yang dilayani.
Penutup
Perkembangan perpustakaan di Indonesia sangat tergantung pada masyarakat pustakawan Indonesia. Hendaknya interaksi antara masyarakat pustakawan dan masyarakat umum terjadi dengan lancar. Masyarakat pustakawan harus dapat meyakinkan masyarakat umum tentang fungsi dasar perpustakaan dalam keseharian hidup masyarakat umum. Dengan demikian masyarakat umum juga akan mengakui profesionalisme pustakawan. Masyarakat pustakawan dapat berupa organisasi profesi pustakawan. Tentunya dalam hal ini kita sudah memiliki IPI. Tinggal sejauh apa keberhasilan IPI mengelola masyarakatnya? Peserta pendidikan perpustakaan adalah calon pustakawan dan calon anggota masyarakat pustakawan. Kepada mereka hendaknya dikenalkan secara benar akan hakikat perpustakaan dan kepustakawanan yang benar. Diharapkan mereka tumbuh menjadi pustakawan profesional yang diakui oleh masyarakat umum. Pada merekalah masa depan perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia. Potensi ini hendaknya dapat dipelihara dan dikembangkan baik oleh para pengajar pendidikan perpustakaan maupun oleh pemegang otoritas perpustakaan di Indonesia, baik Perpustakaan Nasinal maupun Ikatan Pustakawan Indonesia.
Penulis merasa perlu mengulangi lagi apa yang pernah penulis sampaikan dalam Pertemuan IPI Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pertengahan Maret 2004 lalu: Pustakawan usia muda hendaknya diberi kesempatan untuk memikirkan dan merancang sistem dan masa depan perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia. Merekalah yang nanti akan melaksanakan pembangunannya dengan demikian akan menjadi adil apabila mereka yang harus memikirkan. Lalu di mana posisi para senior? Ini merupakan ujian bagi para senior. Relakah para senior menjadi hanya pembimbing bagi para muda dalam merencanakan masa depan mereka? Akhir kata ada pertanyaan buat para peserta pendidikan perpustakaan yang sekarang sedang giat-giatnya belajar: ”Maukah anda menjadi pustakawan profesional yang dengan nurani anda: memikirkan, merancang dan melaksanakan masa depan perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia?”
Blasius Sudarsono - Pustakawan Madya PDII-LIPI
No comments:
Post a Comment