Wednesday, 11 May 2011

Lugas, Baku, dan Indah

Oleh: Agung Y. Achmad (Wartawan)


ANDAI saja semua karya tulis yang dipublikasikan (surat kabar, buku, novel, pamflet, teks pidato presiden, dan lain-lain) selalu berkarakter lugas, baku, dan indah. Maka, kapasitas berbahasa masyarakat kita akan terus terasah, selain kian pintar. Betapa tidak, karena setiap naskah akan menjadi media bacaan menarik, informatif, dan inspiratif.

Kelugasan sebuah tulisan mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, dan ketulusan dalam berbagi informasi-pengetahuan kepada siapa saja. Berbahasa baku berarti melembagakan kesepakatan bersama: bahasa nasional. Dan, tulisan indah menggambarkan minat berkesenian melalui teks. Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, lugas berarti: serba bersahaja; baku: tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

Selama ini, naskah-naskah berbahasa baku cenderung tidak lugas, dan kaku. Di lain pihak, tulisan bergaya lugas (populer) sering dianggap abai terhadap aturan resmi bahasa dan kesahihan data. Pada kasus yang lain lagi, sekadar contoh, saya pernah menjumpai sebuah makalah seminar yang kalimat-kalimatnya tak berspasi. Penulisnya seorang master bidang perbankan. Saya kira, ada persoalan mental di situ, bahasa belum dipahami sebagai simbol etika bersama bangsa. Si master tadi telah merampas hak orang untuk nyaman membaca.
Karya tulis berkarakter “tiga yang menyatu” di atas memang mengandaikan kapasitas penulis (para pihak yang menghasilkan bahasa tulis) yang bukan hanya berwawasan luas dan berpengetahuan bahasa memadai. Tapi, karya itu juga mesti berambisi untuk menghasilkan karya-karya yang “tanpa kelas” dan estetik. Dan, untuk itu, karya seperti ini telah melakukan riset serta membaca ulang naskah yang ia tulis.

Semua tulisan yang dipublikasikan semestinya merujuk kepada pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Selanjutnya, pilihlah kosakata baku yang variatif, susunlah struktur kalimat secara benar, dan gunakan gaya bahasa yang sederhana. Sehingga, seserius atau seringan apa pun sebuah tema tulisan, ia menjadi karya yang menarik, enak dibaca, dan berguna.

Tidak semua naskah bermutu memiliki tiga ciri itu, semisal karya akademik atau sastra. Karya sastra (selain prosa) tidak lugas lantaran mengutamakan nilai-nilai estetika dan pendekatan metaforis. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Tetap saja diperlukan kapasitas tertentu agar kita bisa memahami karya sastra dan naskah akademik.

Tapi, teks kajian akademik pun tak harus angker. Sejumlah intelektual yang memiliki tradisi kepenulisan andal mampu melahirkan kalimat-kalimat sederhana yang mencerminkan keseriusan sebuah riset serta memuat analisis berbobot.

Dalam kesadaran semacam itulah, saya kira, bagaimana karya Deliar Noer (almarhum), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (LP3ES, 1982), dilahirkan. Tanpa melihat judul naskah aslinya, pembaca tak akan percaya bahwa buku tersebut merupakan naskah desertasi di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Buku babon untuk kajian politik Islam di Indonesia itu mencerminkan kapasitas akademik dan tradisi linguistik Noer. Karya tersebut terasa lugas meskipun terdapat banyak catatan kaki.

Kesan sederhana, bahkan indah, juga bisa dirasakan pada kalimat-kalimat panjang dalam buku yang ditulis Taufik Abdullah. Membaca karya sejarawan kondang ini, misalnya Sejarah Lokal di Indonesia (Gadjah Mada University Press, 1990), sebagaimana puluhan buah pena Kuntowijoyo dan Umar Kayam,�umpamanya, serasa menikmati tulisan populer. Meski memuat banyak diksi dan istilah fakultatif, lantaran bergaya bahasa sederhana, tulisan mereka terasa ringan. Karya mereka reflektif.

Semangat berbahasa semacam itu belum tampak pada ranah birokrasi. Bahasa publikasi lembaga pemerintah umumnya kaku, bahkan acap tidak baku. Misalnya penulisan akronim BAPPENAS atau PAMSIMAS. Huruf-huruf kapital tersebut tidak mewakili satu kata tertentu sehingga harus ditulis Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi berbasis Masyarakat).

Tradisi berbahasa lugas, baku, dan indah mencerminkan bangsa yang berkebudayaan: responsif terhadap wacana; bangga berbahasa ibu, menyukai karya indah. Situasi itu berlangsung, setidaknya akan dimulai, bila masyarakat tidak lagi membeda-bedakan karya nonfiksi dan fiksi, akademik dan populer, sebagai naskah penting-serius dan tidak serius. Simaklah karya Voltaire (sastrawan Prancis) dan Bertrand Russel (pengarang dan filsuf Inggris), umpamanya, baik yang fiksi maupun nonfiksi, yang ternyata menjadi sumber rujukan penting dalam kajian filsafat, sastra, sosial, budaya, dan politik.

Spirit seperti itu bisa dibaca pada hampir semua karya Karen Armstrong seperti Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis atau Sejarah Tuhan. Ditulis dalam bahasa yang ringan dan segar, karya tersebut bisa kita baca sembari menikmati secangkir kopi di sore hari. Mungkin dahi Anda baru akan berkerut setelah usai membaca karya bekas biarawati itu.

*) Majalah Tempointeraktif, 9 Mei 2011

Tuesday, 10 May 2011

Pustaka Kaum Cendekia

Oleh: Muhidin M Dahlan

Jika British Library mendefinisikan perpustakaan sebagai ruang mengumpul-organisasikan informasi; tempat menciptakan akses agar pengetahuan jadi lebih demokratis; maka Pondok Baca NH Dini ditujukan untuk berbagi kepada sekumpulan anak-anak di sekitarnya agar mendapatkan kesempatan mengekplorasi imajinya atas buku cerita.

Pondok Baca yang didirikan Nh Dini pada 1983 mula-mulanya ruang tapa yang sangat personal bagi Dini untuk menciptakan cerita. Buku-buku di dalamnya menjadi semacam tiang-tiang tanpa batas yang memandu dan menemani waktu-waktu penciptaan. Dan ruang tapa personal itu kemudian dibuka untuk akses publik. Goenawan Mohamad yang pada tahun 1973 memberi stempel Nh Dini sebagai pengarang egois membayarnya dengan Pondok Baca.

Upacara cendekia membuka diri kepada publik via perpustakaan sebagaimana dilakukan sastrawan Dini itu banyak kita temui dalam kronik perbukuan Indonesia. Koleksi gigantik tentu saja kepunyaan Sukarno dan Hatta yang tersebar di beberapa kota (koleksi Hatta terjengkang; sementara Sukarno pelan-pelan dibangun secara terpusat di Blitar).

Selain itu, yang fenomenal adalah koleksi kritisi sastra terpendang HB Jassin di mana ribuan data yang selama hayat menemaninya dalam berkarya diserahkan kepada publik yang mengejawantah dalam Pusat Dokumentasi Sastra di Jakarta. Ada juga penyair Dorothea Rosa Herliani di Magelang yang membuka koleksi pribadinya dalam sebuah dunia kecil bernama Dunia Tera.
Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra mengambil jalan yang sama. Koleksi buku yang dikumpulkannya sejak mahasiswa menyulap rumahnya di Ciputat, Jakarta, menjadi perpustakaan dan bisa dimanfaatkan orang banyak.

Rizal Mallarangeng di bawah bendera Freedom Institute membuka koleksi-koleksi yang tersegmentasi dan kurasi tema ketat dalam sebuah ruang yang nyaman. Di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta secara bertahap ratusan ribu koleksi Rahzen dibuka dan diperuntukkan kepada masyarakat lewat jaringan perpustakaan Gelaranibuku.

Di Surabaya,  aktivis budaya Baperki dan wartawan Trompet Masjarakat di masa lampau, Oei Hiem Hwie, menyerahkan ribuan judul buku dan majalah lama yang menjadi koleksi kebanggaannya kepada publik. Di bawah naungan Perpustakaan Medayu Agung, siapa pun boleh membaca sekira 1.700 buku langka dan ribuan kliping dari koran-koran tua.

Patut juga disebut Ali Hasjmy. Gubernur Aceh saat pergantian Orde Lama ke Orde Baru ini dikenal sebagai cendekia yang rajin menyimpan semua dokumen sejarah. Koleksi itulah yang menghuni perpustakaan di rumahnya yang dibuka sejak 1970-an.

Demikian pula Monsinyur Andreas Petrus Cornelis Sol yang menjadi pustakawan bagi perpustakaannya sendiri di usianya yang nyaris 100 tahun. Ia menamai perpustakaannya dengan Rumphius yang diambil sebagai penghormatan atas usaha biolog Jerman, Georg Everhard Rumphius (1627-1702). Sosok ini banyak menulis artikel ilmiah tentang tetumbuhan dan binatang di kawasan Maluku paruh kedua abad ke-17. Seperti dilaporkan Ruang Baca (2005), Perpustakaan Rumphius berisi koleksi yang menjadi minat Sol, seperti literatur mengenai Maluku, terutama tentang kesenian di Maluku Tenggara, Tanimbar, dan Kei. Bahkan karya-karya lama turut diperlihatkan kepada publik setempat.

Yang dilakukan cendekia-cendekia itu bukan fenomena yang marak. Ini mungkin semacam pemberitahuan terbatas tentang arti berbagi. Berbagi tentang bagaimana buku-buku itu menjadi pemandu kesadaran untuk menjadi manusia dengan wawasan luas. Walau berskup sangat kecil, kehadiran perpustakaan-perpustakaan yang bertiwikrama dari rak-rak pribadi menjadi perpustakaan komunitas itu memiliki keunikan.

Pertama, buku-buku yang terkoleksi adalah pilihan dan sekaligus sebagai rekam jejak pengetahuan yang bersifat personal. Memasuki perpustakaan ini sama halnya memasuki sebuah gagasan besar sang tokoh bagaimana sebuah buku hadir. Di sini, masyarakat pengunjung bukan hanya berhadapan dengan buku, tapi juga mempelajari bagaimana saraf pengetahuan mengekalkan jalan sang pengumpul buku sepanjang hayat kecendekiaannya.

Kedua, membagi koleksi yang awalnya tertutup kepada masyarakat di selingkungannya, selain sebagai usaha yang filantropis, bisa juga dipandang sebagai pertanggungjawaban sosial dalam bentuknya yang terbatas.
Karena koleksi yang tersaji bersifat sangat personal, perpustakaan ini menjadi unik. Unik dalam koleksi, kategorisasi buku, penataan, maupun bentuk pelayanan.

Taman Poestaka, Taman Bacaan
Membuat perpustakaan-perpustakaan kecil tentu bukan sesuatu yang baru. Di masa Hindia Belanda gerakan perpustakaan masuk ke desa-desa dan sekoah sudah dilakukan di bawah bendera Volkslectuur atau Balai Poestaka. Perpustakaan itu bernama “Taman Poestaka” , perpustakaan-perpustakaan Volkslectuur untuk penduduk Pribumi (Jedamski, dalam Chambert-Loir, 2009: 674). Perpustakaan keliling juga dihadirkan dengan nama Mobil-Buku (Furnivall, 2009: 445).

Tradisi panjang itu masih diadopsi terus-menerus. Taman Poestaka di masa Hindia Belanda menjadi Taman Bacaan Masyarakat saat ini. Mobil Buku menjadi Perpustakaan Keliling. Asumsi pendiriannya tak jauh beda. Di masa Hindia Belanda, selain menjadi kooptasi bacaan atas merebaknya bacaan-bacaan liar dari aktivis pergerakan, juga menyebarkan bacaan-bacaan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara.
Di perpustakaan kecil buatan pemerintah ini, buku tidak dipandang sebagai organisme hidup yang membawa wangi-wangi pengetahuan yang rupa-rupa corak dan ideologinya. Buku menjadi semacam proyek politik. Ada konsensus yang tak tertulis, bacaan-bacaan yang membahayakan “keselamatan dan kestabilan” negara pastilah disingkirkan. Wajar kemudian, di masa Hindia Belanda dan Orde Baru, buku-buku terbitan pemerintah atau buku beroleh restu yang paling banyak tersedia.

Sensor yang keras memang tak lagi terasa menyengat di era reformasi yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sensor atas bacaan-bacaan liar dan vulgar itu bertiwikrama dalam tangan-tangan vandal sekelompok masyarakat.

Berlainan dengan perpustakaan yang lahir dari koleksi pribadi para cendekia. Di ruang ini, perpustakaan menemukan pengertiannya yang esoteris, sebagaimana dilukiskan Umberto Eco dalam The Name of the Rose: “di sana terdapat banyak ruang, dan di setiap ruang terdapat lemari-lemari, rak-rak, buku-buku, halaman-halaman… dan sementara itu di luar perpustakaan ada kuil, ada…. Dan, yang manakah sastra dunia? Perpustakaan tersebut? Kuil tersebut? Ataukah dapur tempat siapa pun yang lapar datang ke sana?”
Kepada “mereka yang lapar” itulah perpustakaan cendekia itu hadir, walau tak segigantik beban yang dipundaki perpustakaan-perpustakaan negara semacam British Library atau Library of Congress, yakni memposisikan diri sebagai penyelamat “national memory”. Di sini, ruang kecil itu sudah cukup nyaman dan adil bagi teraksesnya semua jenis buku: saleh atau salah, jinak atau liar, alim atau vulgar.

Setiap tahun, pemerintah via Departemen Pendidikan Nasional terus-menerus membangun perpustakaan kecil. Kita memang memerlukan puluhan ribu perpustakaan kecil untuk menjangkau ratusan juta jumlah warga, yang dalam kata-kata mantan Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia T. Syamsul Bahri (2009): “sudah minat bacanya rendah, koleksinya juga yang tidak bertambah.”

Tapi jangan juga dilupakan kehadiran perpustakaan khusus yang dikelola secara unik dengan pendanaan yang sangat minimun oleh kelompok kecil cendekia yang menjadi teladan bagaimana buku bertiwikrama dalam laku hidupnya.

Kehadiran perpustakaan khusus itu mestilah dipandang sebagai aset budaya bangsa yang berharga. Sebagai aset, tentu perpustakaan akan diperlakukan selayaknya aset dalam sebuah usaha ekonomi. Sebab jika tidak, nasibnya akan sama dengan perputakaan Hatta di Yogyakarta atau perpustakaan-perpustakaan cendekia lainnya di pelbagai kawasan. Serupa koleksi-koleksi buku mantan perdana menteri di masa pemerintahan Sukarno, Ali Sastroamodjojo, yang terserak di lapak-lapak gelap perbukuan Jakarta.

Catatan: Edisi lebih ringkas dimuat Harian Kompas, 10 Mei 2011

Sunday, 8 May 2011

Perjuangan Dua Dekade Seorang Pustakawan

SUDUT belakang sekolah. Gelap, pengap, dan sunyi. Begitulah ruang perpustakaan zaman dahulu. Ditambah lagi, karakter penjaga yang sering sinis dan suka marah. Tak jarang, orang mengonotasikan perpustakaan dengan tempat-tempat menyeramkan bak di film-film horor.
Imej itu yang hendak didobrak Siti Esjah, koordinator Perpustakaan SMP 4 Samarinda. Selama dua dekade, perempuan berjilbab ini mengabdikan diri untuk memberdayakan perpustakaan. Begitu banyak kenangan dalam 20 tahun perjalanannya.
Duka terdalam, menurut ibu empat anak ini, saat kebakaran melanda seluruh gedung sekolah dan tak satu buku pun yang tersisa di perpustakaan. Memori pada 1989 silam itu masih belum lekang dari ingatannya.
“Perlu tenaga ekstra dan waktu lama mendapatkan buku-buku lagi,” kenangnya. Mulai melobi ke Dinas Pendidikan, Perpustakaan Daerah, dan penggalangan dana, pernah dia lakukan untuk menghidupkan kembali perpustakaannya. Kerja kerasnya kini telah membuahkan hasil. Sebanyak 8.557 eksemplar buku fiksi dan nonfiksi memenuhi rak-rak di ruangan bagian muka gedung SMP 4 ini.
Sejak didaulat sebagai koordinator perpustakaan SMP 4, perempuan kelahiran 1957 ini menjalankan tugasnya dari pukul 08.00 hingga 14.00 Wita. Mulai Senin hingga Sabtu. Dengan senyum ramah dan keibuan, Esjah (panggilan akrabnya) mengarahkan siswa-siswa yang mengunjungi perpustakaan.
“Anak-anak di sini mudah diarahkan. Kalaupun ada kenakalan, ya, sebatas ribut dan meletakkan buku sembarangan,” ujarnya. Menurutnya berinteraksi setiap hari dengan para siswa yang berkunjung memberikan kesenangan tersendiri. “Sering berkumpul dengan anak muda kan bisa awet muda,” candanya.
Tentang imej penjaga perpustakaan yang sinis dan pemarah, nenek delapan cucu ini mengaku, dirinya tidak setuju. “Nanti anak-anak malah tidak mau ke perpustakaan jika penjaganya menyeramkan,” kelitnya.
Menurutnya, ramah dan senantiasa menyapa pengunjung dengan senyuman akan membuat mereka nyaman dan selalu ingin menghabiskan waktu luang untuk belajar di perpustakaan.
Setiap hari, Esjah dan tiga stafnya bekerja sama menciptakan suasana nyaman di lingkungan perpustakaan. Selain itu kegiatan “menyiangi” buku juga rutin mereka lakukan terlebih ketika musim ujian berakhir dan siswa mulai mengembalikan buku pinjaman. Kegiatannya meliputi memilah-milah buku yang rusak, mengelem dan menyusunnya kembali berdasarkan jenisnya.
Esjah berharap, dengan memaksimalkan peran perpustakaan, generasi pembaca akan meningkatkan mutu pendidikan. (*/ekf)


Source