Thursday, 18 April 2013

pathfinder untuk perpustakaan

Pathfinder :
salah satu bentuk upaya pustakawan untuk meningkatkan
jasa pelayanan rujukan kepada  pemustaka dalam menemukan kembali 
informasi di perpustakaan

"Istilah pathfinder berasal dari turunan kata ‘path’ yang berarti ‘jalan sempit/kecil’ dan ‘finder’ yang berarti ‘’penemu’, hal itu termuat dalam Kamus Besar bahasa Indonesia. Arti secara harfiahnya adalah penemu jalan kecil. Sedangkan istilah panduan pustaka sebenarnya merupakan terjemahan dalam bahasa Inggris ‘Library pathfinder’, yang berarti merupakan checklist pengantar untuk subjek-subjek tertentu dan didesain untuk membimbing para pemustaka perpustakaan pada tahapan awal penelusuran literatur. Penggagas dari library pathfinder adalah Charles H. Stevens, seorang asociate director dari Library development, Project Intrex, Massachusets Institute of technology (MIT) amerika serikat.
Beberapa perpustakaanpun menyediakan saran pathfinder tersebut untuk membantu pemustaka pepustakaan, baik mahasiswa, dosen dan peneliti dalam penelusuran awal mereka. Dalam bentuknya, pathfinder merupakan sarana bantu cetak dalam pelayanan referensi. Sehingga tidak heran ketika kita di ruanagn referensi sebuah perpustakaan, maka sering kita menemukan bahan-bahan pathfinder, baik dalam bentuk dijilid seperti layaknya sebuah buku maupun bentuk seperti leaflet di meja informasi referensi.
Ada juga beberapa perpustakaan membuat pathfinder diperluas sampai pembuatan essei bibliografi yang merupakan studi pendalaman mengenai topik atau subjek tertentu. Didalam essei bobliografi tersebut, diuraikan mengenai sejauh mana sumber-sumber tersebut memenuhi informasi untuk topik yang dipilih, bagaimana efektivitasnya, sejauh mana saling keterkaitannya dan mana yang paling bermanfat. Pembuatan essei bibliografi inipun mampu melatih mahasiswa untuk mengevaluasi dan menentukan prioritas diantara bermacam-macam sumber referensi serta merancang strategi penelusuran" 

ABSTRAK


Berubahnya peran perpustakaan dari sebuah tempat atau sumber ke suatu "sistem", bahkan ke sebuah ‘cyber’, sangat menekankan kepada perpustakaan untuk dapat bertindak "lebih atraktif" kepada pemustaka perpustakaan dalam penyebaran informasinya. Kecocokan informasi yang ada, dengan kebutuhan pemustaka merupakan salah satu cara kita mengoptimalkan akses informasi."Pathfinder" merupakan isu penting dalam upaya menemukan informasi yang sesuai dengan kebutuhan informasi seseorang. Dengan pathfinder, pemustaka akan terpuaskan ketika mereka mencari isu-isu atau subjek penting yang sudah terkumpul menjadi satu di dalam sebuah ‘pathfinder’. Sistem penemuan kembali informasi tersebut berguna untuk me-"match"-kan apa yang tersedia, dengan apa yang dibutuhkan oleh pemustaka perpustakaan. Sehingga ‘eksplorasi’ informasi yang ada, lebih bisa di maksimalkan dan ‘dilahap’ oleh para pemustaka perpustakaan.

kata kunci : pathfinder, akses informasi.


Pendahuluan

Perpustakaan sebagai pusat (sumber) informasi dengan semua jasa layanannya dituntut untuk selalu siap membantu masyarakat pemustakanya memperoleh informasi yang dibutuhkan. Sekarang ini perpustakaan memainkan peran yang sangat penting dalam siklus transfer informasi yang sudah dikemas ulang oleh pustakawan untuk kemudian dimanfaatkan oleh pemustaka perpustakaan. Fungsi jasa layanan informasi yang telah begitu melekat pada perpustakaan, memaksa perpustakaan untuk bertindak sebagai antar muka (interface) antara dua dunia yaitu masyarakat sebagai kelompok pemustaka dan dunia sumber-sumber informasi, dalam bentuk tercetak maupoun bentuk lain. Fungsi perpustakaan seperti yang tertera pada Buku Pedoman Perpustakaan perguruan tinggi, yaitu merupakan unit pelaksana teknis perguruan tinggi yang bersama unit lain turut melakanakan Tridarma perguruan tinggi dengan cara memilih, menghimpun, mengolah, merawat dan melayankan sumber informasi kepada lembaga induknya pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Hal itu senada dengan yang termaktub dalam salah satu prinsip-prinsip kepustakawanan yaitu perpustakaan dimaksud untuk menyimpan dan memencarkan ilmu pengetahuan.

Untuk mengefektifkan dan mengoptimalkan jasa layanan informasi sumber-sumber yang ada diperpustakaan, maka perlu perumusan yang jelas mengenai tahap-tahap datangnya bahan pustaka atau sumber informasi, sampai kepada sumber informasi tersebut siap dilayankan. Sejak dari seleksi, pengadaan, pengolahan dan pelayanan sumber informasi (dalam hal ini termasuk penyediaan dan penyebaran) diharapkan akan segera dapat dimanfaatkan oleh pemustaka perpustakaan secara cepat, tepat dan akurat.

Pemustaka perpustakan memiliki latar belakang pendidikan, wawasan dan pengalaman yang berbeda, sehingga tingkat kebutuhan informasi mereka juga berbeda. Sehingga perpustakaan juga dituntut untuk menyediakan sarana atau alat bibliografi. Salah satu jenis sarana bibliografi tersebut dikenal dengan istilah ‘pathfinder’ atau panduan pustaka.


Peran jasa rujukan

Peran jasa rujukan di perpustakaan satu dengan yang lain berbeda-beda, sangat tergantung dengan besar kecilnya perpustakan, jenis koleksinya dan fungsi serta tradisi perpustakaan. Sulistyo-Basuki mengatakan (1998 : 448) bahwa jasa rujukan di perpustakaan satu dengan yang lain berbeda-beda tergantung dengan beberapa faktor antara lain : situasi lokal, tradisi lokal, jenis pemustaka, besar klecilnya perpustakaan, sumber pustaka yang tersedia, serta pandangan hidup pustakawan yang menyangkut  organisasi dan administrasi perpustakaan. Sedangkan menurut Prytherch (1995 : 542) mengatakan bahwa “refrence work” is that branch of the library’s services which includes the assistance given to readers in their search for information on various subjects. Yang artinya adalah bahwa jasa referensi adalah sebuah jasa yang merupakan bagian dari sebuah perpustakaan  yang memberikan bantuan kepada pemustaka perpustakakan (bantuan jenis apapun) dalam rangka membatu mencarikan informasi bagi pemustakanya.

Dan berbagai jenis jasa rujukan yang lazim dilaksanakan di sebuah perpustakaan, menurut Sulistyo-Basuki  (1998 : 449) antara lain adalah :
1.      Pinjam antar perpustakaan
2.      Tandon (reservation)
3.      Orientasi perpustakaan dan instruksi bibliografi
4.      Kunjungan perpustakaan bagi anggota baru
5.      Menyelenggarakan pameranJasa bimbingan pembaca
6.      Jasa penmgindeksan dan abtrak
7.      Kompilasi bibliografi
8.      Pembuatan kliping
9.      Pembuatan jajaran vertikal (vertical file)

Sementara menurut American Library Association – Reference Service Division menyatakan ada 2 jenis jasa rujukan yaitu jasa langsung dan jasa Tidak Langsung. Jasa rujukan langsung adalah merupakan kegiatan pemberian bantuan personil langsung diberikan kepada pemustaka perpustakaan, artinya pustakawan langsung membantu mencarikan informasi. Sedangkan jasa rujukan tidak langsung dapat berupa penyusunan katalog, bibliografi, bantuan rujukan lainnya, pemilihan dokumen, penyusunan bagian referensi, pembuatan jajaran informasi relevan serta yang lainnya.


Fungsi-Fungsi Referensi


Agar pelayanan referensi dapat berjalan dengan baik,  petugas perlu memahami terlebih dahulu fungsi-fungsi referensi, yakni sebagai berikut.
1.      Fungsi Pengawasan
Petugas referensi dapat mengamati pengunjung, baik dalam hal kebutuhan informasi yang diperlukan maupun latar belakang sosial dan tingkat pendidikannya agar dapat menjawab pertanyaan dengan tepat.
2.      Fungsi Informasi
Fungsi yang terpenting dari pelayanan referensi adalah memberikan informasi kepada pengunjung, yaitu memberikan jawaban terhadap pertanyaan singkat maupun penelusuran informasi yang luas dan mendetail sesuai kebutuhan pemustaka.
Fungsi Bimbingan
Petugas referensi harus menyediakan waktu guna memberikan bimbingan kepada pemustaka perpustakaan untuk menemukan bahan pustaka yang dibutuhkan, misalnya melalui katalog perpustakaan, buku-buku referensi, serta bahan pustaka lainnya.
3.      Fungsi Instruksi
Pemberian instruksi yang dimasudkan adalah sebagai cara untuk memperkenalkan kepada pemustaka tentang bagaimana menggunakan perpustakaan yang baik. Di samping itu, ditujukan juga kepada usaha untuk menggairahkan dan meningkatkan pemustakaan perpustakaan.
4.      Fungsi Bibliografis
Petugas referensi perlu secara teratur menyusun daftar bacaan atau bibliografi untuk keperluan penelitian atau mengenal bacaan yang baik dan menarik. Penyusunan bibliografi lazimnya dipergunakan untuk beberapa tujuan, antara lain:
a.       menyusun bibliografi  tentang subjek tertentu,
b.      menyusun bibliografi untuk mengenal daftar bacaan yang baik dan menarik, karya tulis, atas permintaan guru, siswa atau orang lain yang memerlukannya. (LpPI, 2001 : 123)

Dengan memaparkan pendekatan jasa rujukan diatas, maka kita sama-sama dapat merngetahui bahwa panduan piutaka atau pathfinder tersebut termasuk ke dalam jasa rujukan yang tidak langsung, artinya pathfinder diberikan kepad pemustaka perpustakan dengan berupa bahan, tulian yang berbentuk panduan ataupun leaflet.

Terkait dengan penelusuran rujukan di perpustakan, prinsip yang harus dipegang pustakwan adalah semua untuk kepentingan pemustaka. Seperti yang dikemukakan oleh Lancaster (1979) disebutkan bahwa temu balik informasi ialah proses penelusuran suatu koleksi dokumen ( dalam arti yang seluas-luasnya) untuk mengidentifikasi dokumen-dokumen tentang subjek tertentu. Dan sistem temu kembali informasi adalah setiap sistem yang dirancang untuk memudahkan kegiatan penelusuran bagi pemustaka. Sehingga pustakawan pun harus mengerti dan mengenal baik tentang sumber-sumber informasi yang akan disusun ke dalam pathfinder. Menurut Djatin (1996 : 6) bahwa sumber-sumber informasi terbagi menjadi 3 kelompok besar yaitu :
1.      Sumber informasi sekunder
Contohnya adalah buku-buku referensi, majalah abstrak, majalah indeks, pangkalan data dan katalog perpustakaan
2.      Sumber inormasi primer
Contoh konkrit adalah majalah ilmiah, buku-buku teks, buku-buku bidang khusus, paten dan standar
3.      Sumber informasi tesier
Contohnya sumber yang memuat daftar tebitan dari publikasi yang dimuat dalam sumber primer dan sekunder.

Disamping putakawan harus mengerti sumber-sumber informasi, maka pustakawanpun sudah selayaknya memahami sebuah klasifikasi pertanyaan, sebelum membuat dafta pathfinder. Pertanyaan referensi dapat diklasifikasikan dalam beberapa golongan. Berikut ini disajikan secara garis besar klasifikasi pertanyaan (LpPI, 2001 : 126), jenis pertanyaan referensi, dan sumber referensi yang dapat digunakan.


Klasifikasi Pertanyaan
Jenis Pertanyaan
Sumber Referensi
1.      Bahasa
Arti, asal kata, definisi, pengejaan, pengucapan, singkatan, istilah, kata asing, sinonim, lambang, dan simbol

Kamus

2.      Pemilihan bahan pustaka
Buku terbaik bidang pengetahuan tertentu, terbitan tertentu, perincian bibliografi, dan lokasi bahan pustaka
Bibliografi, katalog penerbit
3.      Data peristiwa
Kejadian-kejadian, statistik, tradisi, kebiasaan, dan catatan kejadian
Almanak,
Buku tahunan
4.      Latar belakang, pedoman
Informasi umum, bahan untuk belajar sendiri, dan cara mengerjakan sesuatu

Ensiklopedi, buku pegangan, manual, brosur, pamflet, ensiklopedi, biografi, direktori

5.      Manusia, orang, pribadi

Tokoh, pemimpin, spesialis, profesional, pengarang, dan orang-orang terkenal
Direktori, buku tahunan, almanak, brosur, pamflet

6.      Organisasi, dan   lembaga
Tujuan, keanggotaan, kegiatan, struktur, nama dan alamat
Sumber geografi, peta, atlas, dan kamus ilmu bumi
7.      Tempat
Lokasi, deskripsi, jarak, dan keterangan tempat
Alat peraga (AV)
8.      Ilustrasi
Bentuk, model, rupa, warna, film, dan rekaman
Handbook, buku tahunan,  buku pedoman (manual)
9.      Fakta

Statistik, kejadian, rumus
Lembaran negara, laporan pemerintah, terbitan pemerintah
10.  Aktivitas
Cara mengerjakan, cara membuat dan sebagainya
Buku pedoman (manual)
11.  Undang-Undang, peraturan
Perundang-undangan, peraturan, data, fakta resmi
Lembaran negara, kitab undang-undang, terbitan pemerintah




Asal muasal Pathfinder


Istilah pathfinder berasal dari turunan kata ‘path’ yang berarti ‘jalan sempit/kecil’ dan ‘finder’ yang berarti ‘’penemu’, hal itu termuat dalam Kamus Besar bahasa Indonesia. Arti secara harfiahnya adalah penemu jalan kecil. Sedangkan istilah panduan pustaka sebenarnya merupakan terjemahan dalam bahasa Inggris ‘Library pathfinder’, yang berarti merupakan checklist pengantar untuk subjek-subjek tertentu dan didesain untuk membimbing para pemustaka perpustakaan pada tahapan awal penelusuran literatur. Penggagas dari library pathfinder adalah Charles H. Stevens, seorang asociate director dari Library development, Project Intrex, Massachusets Institute of technology (MIT) amerika serikat.
Sejak diperkenalkan, panduan pustak telah digunakan dalam berbagai hal. Salah satunya sebuah perusahaan penerbitan Adison Wesley, bahkan menjual sarana bantu pathfinder secara komersial. Beberapa perpustakaanpun menyediakan saran pathfinder tersebut untuk membantu pemustaka pepustakaan, baik mahasiswa, dosen dan peneliti dalam penelusuran awal mereka. Dalam bentuknya, pathfinder merupakan sarana bantu cetak dalam pelayanan referensi. Sehingga tidak heran ketika kita di ruanagn referensi sebuah perpustakaan, maka sering kita menemukan bahan-bahan psthfinder, baik dalam bentuk dijilid seperti layaknya sebuah buku maupun bentuk seperti leaflet di meja informasi referensi. Di Universitas  nebraska (Omaha), pathfinder diperluas sampai pembuatan essei bibliografi yang merupakan studi prendalaman mengenai topik atau subjek tertentu. Didalam essei bobliografi tersebut, diuraikan mengenai sejauh mana sumber-sumber tersebut memenuhi informasi untuk topik yang dipilih, bagaimana efektivitasnya, sejauh mana saling keterkaitannya dan mana yang paling bermanfat. Pembuatan essei bibliografi inipun mampu melatih mahasiswa untuk mengevaluasi dan menentukan prioritas diantara bermacam-macam sumbe referensi serta merancang trategi penelusuran.

Penyusunan pathfinder
Penyusunan pathfinder bisa diawali dengan membuat judul panduan yang diletakkan disebelah sudut kanan atas. Setelah menentukan judul panduannya (subjek tertentu) maka kemudian dilanjutkan dengan memberikan sebuah cakupan atau ruang lingkup dari subjek panduan yang dipilih. Cakupan atau ruang lingkup biasanya diambilkan dari sebuah rujukan berbentuk kamus ataupun ensiklopedia, diikuti dengan memberikan deskripsi bibliografi dari cakupan yang dikutip, bahkan samapai kepada call number yng sesuai dengan aturan di perpustakaan dimana koleksi tersebut berada.serta lokasi sumber rujukan yang digunakan dalam menuliskan cakupan. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan beberapa entri tajuk subjek dan nonor kelasnya yang sesuai dengan tsubjek atau topik yang dibuat, yang dapat digunakan untuk mencari koleksi yang terkait dengan subjek yang ditulis. Entri-entri tersebut dapat diambilkan lewat OPAC maupun lewat kartu katalog.
Setelah entri-entri nomor kelas dan tajuk subjeknya selesai, kemudian melakukan pendataan koleksi-koleksi mulai dari buku teks sampai kepada majalah indeks, yang meliputi :
1.      Buku-buku teks yang utama, atau buku-buku wajib
2.      Buku-buku teks anjuran
3.      Buku Pegangan, ensiklopedi dan kamus khusus
4.      Bibliografi
5.      Majalah indeks dan abstrak, terutama yang mendaftar karangan ilmiah
6.      Majalah primer
7.      Tinjauan perkembangan dan laporan pertemuan ilmiah
8.      Majalah indeks dan abstrak yang mendaftar laporan teknis

Perlu diperhatikan bahwa dalam menuliskan sumber-sumber nomor 1 sampai dengan nomor 8 seperti tersebut diatas, harus selalu disertai dengan deskripsi bibliografi lengkap dan lokasi dimana sumber-sumber tersebut berada. Hal itu semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pemustaka perpustakaan untuk dapat langsung mencari sumber-sumber rujukan di rak koleksi.

Format pathfinder


Secara umum menurut James ( 1981) format pathfinder yang disusun di perpustakaan adalah sebagai berikut :

JUDUL PANDUAN

· RUANG LINGKUP :
· Pengantar mengenai topik ini terdapat dalam sumber-sumber yang bernomor kelas dan bertajuk subjek sebagai berikut:
· BUKU-BUKU teks wajib mengenai topik ini adalah : 330.01, 330.10 (5 eks)
Berlokasi di :
· BUKU-BUKU anjuran mengenai topik ini adalah : 330.130 598  (5 eks)
Berlokasi di :
· BUKU PEGANGAN mengenai topik ini adalah :
Berlokasi di :
· ENSIKLOPEDI mengenai topik ini adalah :
Berlokasi di :
· KAMUS KHUSUS mengenai topik ini adalah :
Berlokasi di :
· BIBLIOGRAFI mengenai topik ini adalah :
Berlokasi di :
· ARTIKEL MAJALAH mengenai topik ini adalah :
Berlokasi di :
· MAJALAH mengenai topik ini adalah :
Berlokasi di :
· TINJAUAN PERKEMBANGAN mengenai topik ini adalah
Berlokasi di :
· LAPORAN PERTEMUAN ILMIAH mengenai topik ini adalah :
Berlokasi di :
· LAPORAN TEKNIS /PENELITIAN  dan jenis pustakan lain yang diindeks/disarikan dalam sumber-sumber berikut ini :
Berlokasi di :


Penutup


Di dunia perpustakaan, sebuah pekerjaan yang diemban pustakawan tidaklah berhenti sampai hanya batas melayani pemustaka perpustakaan. Masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan untuk memuaskan dan ‘memanjakan’ pemustaka, salah satunya penyediaan ‘pathfinder’ di ruang rujukan atau ruang referensi. Sehingga apa yang diinginkan pemustaka, dapat ditangkap dan dipeuhi oleh  pustawakan. Sebuah solusi yang barangkali dapat ditawarkan adalah yang terpenting adalah membangun persamaan persepsi mengenai temu kembali informasi oleh pemustaka perpustakaan yang dikaitkan dengan karakteristik profesi kepustakwanan, sehingga keduanya akan jalan seiring dengan segala kebutuhan yang dikehendaki, yang pada akhirnya dapat sesuai dengan prinsip kepustakawanan yaitu perpustakaan bertujuan menyimpan dan memencarkan ilmu pengetahuan. Semoga.

Selesai





REFERENSI

ALA.  Glossary of library and information science. 1983. Chicago : American Library Association.
Apostle, Richard and Boris Raymond. Librarianship and the information paradigma. Lanham, Md. & London : The Scarecrow Press, 1997.
Buckland, Michael. 1992. Redesigning Library Services ; A Manivesto. London : Library association.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.1994. Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi  Depdikbud Dirjen Dikti edisi ke 2 , penyelia : Parlinah Moeldjono. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djatin, Jusni. Penelusuran Literatur. 1996 Jakarta : Universitas Terbuka.
Kamus Umum Bahasa Indonesia. 1990. Jakarta : Balai Pustaka.
Katz, William A. 1982.   Introduction to reference guide I & II. New York : McGraw-Hill.
Katz, William. 1979. Your Library : A Reference Guide. New York : Holt, Rinehart and Winston.
Lembaga pemberdayaan Perpustakaan dan Informasi. 2001.Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan. Yogyakarta : LpPI dan FkBA.
Rice, James, Jr. 1981.Teaching Library Use : A Guide For Library Instruction. London : Greenwood Press.
Sulistyo-Basuki. 1993. Pengantar ilmu perpustakaan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Wedgeworth, Robert (ed.).1993. World encyclopedia of library and information services.3rd ed. Chicago : American Library Association.
@@@@@

Tuesday, 27 December 2011

Peran dan Fungsi Perpustakaan Sekolah

Dalam proses pembelajaran di sekolah diperlukan sarana penunjang berupa buku pelajaran peserta didik, buku pegangan guru dan buku referensi. Setiap satuan pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional dan kejiwaan peserta didik.

Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Masalah mencerdaskan peserta didik melalui buku pelajaran di sekolah-sekolah sudah menjadi keharusan sesuai dengan kebutuhan dari pangsa pasar.

Berdasarkan data masing-masing perpustakaan sekolah, diketahui minat peserta didik untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah sangat rendah, sehingga hal ini menjadi suatu kesenjangan yang perlu di cari solusinya agar dapat memotivasi peserta didik berkunjung ke perpustakaan sekolah untuk meningkatkan hasil belajar demi mencerdaskan anak bangsa.

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ini memberikan dasar hukum untuk membangun pendidikan nasional dengan menerapkan prinsip demokrasi, desentralisasi, otonomi, keadilan dan menjunjung tinggi hak azasi manusia.
Maka, pemerintah melalui dinas pendidikan nasional selalu memfokuskan perhatian terhadap perkembangan kualitas pendidikan di Indonesia melalui anggaran yang dialokasikan untuk pendidikan mencapai 20%. Melalui kementerian pendidikan nasional telah mencanangkan proyek pengadaan  buku di lingkungan dinas pendidikan nasional demi pemerataan materi pembelajaran di seluruh sekolah-sekolah yang ada di Negara Republik Indonesia.

Pihak sekolah atau manajemen sekolah di harapkan pro aktif mengajukan proposal kebutuhan buku di masing-masing sekolah sesuai dengan satuan pendidikan untuk memperoleh data autentik di Kementerian Pendidikan Nasional.

Selain pemerintah, kepala sekolah dapat memberdayakan komite sekolah yang menjadi provider terhadap stakeholder yang perduli terhadap kemajuan pendidikan untuk dapat menyumbang buku yang di butuhkan sekolah, dan manajemen sekolah mengalokasikan anggaran dana komite sekolah dalam pengadaan buku perpustakaan sebagai skala prioritas setiap tahunnya.

Ketersediaan buku pelajaran di perpustakaan sekolah, serta kemauan membaca buku secara tekun dan sistematik, akan menjadikan seseorang peserta didik memiliki tambahan pengetahuan yang berharga sebagai bekal keberhasilan studi dari peserta didik.

Penulis mengharapkan, peserta didik hendaknya memiliki semboyan “gemar membaca“. Gemar membaca adalah salah satu sikap yang paling akurat untuk memperoleh pengetahuan melalui buku perpustakaan demi meningkatkan hasil belajar peserta didik secara khusus dan anak bangsa secara umum. Salah satu cara implementasi dari sikap gemar membaca adalah memberi kemudahan tanpa mempersulit didik menjadi anggota perpustakaan di sekolahnya tanpa harus menunggu peserta didik untuk mendaftarkan diri menjadi anggota.

Pengertian perpustakaan adalah suatu unit kerja berupa tempat mengumpulkan, menyimpan dan memelihara koleksi bahan pustaka yang di kelola dan diatur secara sistematik dengan cara tertentu, untuk digunakan secara kontinu oleh pemakainya sebagai sumber informasi.

Berdasarkan pengertian perpustakaan, berarti di dalam perpustakaan sekolah tersimpan kekayaan ilmu pengetahuan yang perlu digali dengan cara sering berkunjung, menemukan informasi yang diperlukan, mempelajari serta mengamalkan isi informasi yang sudah dibaca.

Ada beberapa peranan perpustakaan sekolah antara lain;
a) Melestarikan budaya bangsa berdasarkan menghimpun informasi, merawat informasi berarti melestarikan informasi, karena informasi yang tercetak atau non cetak itu hasil kreasi manusia atau hasil kebudayaan manusia.
b).Untuk meningkatkan kecerdasan peserta didik yaitu perpustakaan yang dikelola dengan baik akan menjadi sasaran meningkatkan pengetahuan melalui gemar membaca.
c).Untuk memajukan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,  yaitu perkembangan pengetahuan manusia dari hari ke hari atau dari masa kemasa akibat jasa perpustakaan.
d).Kancah studi, kancah penelitian dan ajang konsultasi disiplin ilmu,  yaitu berdasarkan perpustakaan dan jasa perpustakaan, seseorang peserta didik dapat memilih manfaat untuk menambah ilmu pengetahuan.
Fungsi perpustakaan sekolah antara lain;
a). Untuk mendidik peserta didik lebih maju.
b). Memberi pelayanan prima tentang berbagai bidang ilmu.
c). Membantu pelayanan kepada seseorang peserta didik untuk melakukan riset, dll. (*)

Penulis: Drs Master  Manurung
Staf Pendidik SMKN 3 Medan

Wednesday, 11 May 2011

Lugas, Baku, dan Indah

Oleh: Agung Y. Achmad (Wartawan)


ANDAI saja semua karya tulis yang dipublikasikan (surat kabar, buku, novel, pamflet, teks pidato presiden, dan lain-lain) selalu berkarakter lugas, baku, dan indah. Maka, kapasitas berbahasa masyarakat kita akan terus terasah, selain kian pintar. Betapa tidak, karena setiap naskah akan menjadi media bacaan menarik, informatif, dan inspiratif.

Kelugasan sebuah tulisan mencerminkan kesederhanaan, kejujuran, dan ketulusan dalam berbagi informasi-pengetahuan kepada siapa saja. Berbahasa baku berarti melembagakan kesepakatan bersama: bahasa nasional. Dan, tulisan indah menggambarkan minat berkesenian melalui teks. Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, lugas berarti: serba bersahaja; baku: tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

Selama ini, naskah-naskah berbahasa baku cenderung tidak lugas, dan kaku. Di lain pihak, tulisan bergaya lugas (populer) sering dianggap abai terhadap aturan resmi bahasa dan kesahihan data. Pada kasus yang lain lagi, sekadar contoh, saya pernah menjumpai sebuah makalah seminar yang kalimat-kalimatnya tak berspasi. Penulisnya seorang master bidang perbankan. Saya kira, ada persoalan mental di situ, bahasa belum dipahami sebagai simbol etika bersama bangsa. Si master tadi telah merampas hak orang untuk nyaman membaca.
Karya tulis berkarakter “tiga yang menyatu” di atas memang mengandaikan kapasitas penulis (para pihak yang menghasilkan bahasa tulis) yang bukan hanya berwawasan luas dan berpengetahuan bahasa memadai. Tapi, karya itu juga mesti berambisi untuk menghasilkan karya-karya yang “tanpa kelas” dan estetik. Dan, untuk itu, karya seperti ini telah melakukan riset serta membaca ulang naskah yang ia tulis.

Semua tulisan yang dipublikasikan semestinya merujuk kepada pedoman Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Selanjutnya, pilihlah kosakata baku yang variatif, susunlah struktur kalimat secara benar, dan gunakan gaya bahasa yang sederhana. Sehingga, seserius atau seringan apa pun sebuah tema tulisan, ia menjadi karya yang menarik, enak dibaca, dan berguna.

Tidak semua naskah bermutu memiliki tiga ciri itu, semisal karya akademik atau sastra. Karya sastra (selain prosa) tidak lugas lantaran mengutamakan nilai-nilai estetika dan pendekatan metaforis. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Tetap saja diperlukan kapasitas tertentu agar kita bisa memahami karya sastra dan naskah akademik.

Tapi, teks kajian akademik pun tak harus angker. Sejumlah intelektual yang memiliki tradisi kepenulisan andal mampu melahirkan kalimat-kalimat sederhana yang mencerminkan keseriusan sebuah riset serta memuat analisis berbobot.

Dalam kesadaran semacam itulah, saya kira, bagaimana karya Deliar Noer (almarhum), Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (LP3ES, 1982), dilahirkan. Tanpa melihat judul naskah aslinya, pembaca tak akan percaya bahwa buku tersebut merupakan naskah desertasi di Universitas Cornell, Amerika Serikat. Buku babon untuk kajian politik Islam di Indonesia itu mencerminkan kapasitas akademik dan tradisi linguistik Noer. Karya tersebut terasa lugas meskipun terdapat banyak catatan kaki.

Kesan sederhana, bahkan indah, juga bisa dirasakan pada kalimat-kalimat panjang dalam buku yang ditulis Taufik Abdullah. Membaca karya sejarawan kondang ini, misalnya Sejarah Lokal di Indonesia (Gadjah Mada University Press, 1990), sebagaimana puluhan buah pena Kuntowijoyo dan Umar Kayam,�umpamanya, serasa menikmati tulisan populer. Meski memuat banyak diksi dan istilah fakultatif, lantaran bergaya bahasa sederhana, tulisan mereka terasa ringan. Karya mereka reflektif.

Semangat berbahasa semacam itu belum tampak pada ranah birokrasi. Bahasa publikasi lembaga pemerintah umumnya kaku, bahkan acap tidak baku. Misalnya penulisan akronim BAPPENAS atau PAMSIMAS. Huruf-huruf kapital tersebut tidak mewakili satu kata tertentu sehingga harus ditulis Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) dan Pamsimas (Penyediaan Air Minum dan Sanitasi berbasis Masyarakat).

Tradisi berbahasa lugas, baku, dan indah mencerminkan bangsa yang berkebudayaan: responsif terhadap wacana; bangga berbahasa ibu, menyukai karya indah. Situasi itu berlangsung, setidaknya akan dimulai, bila masyarakat tidak lagi membeda-bedakan karya nonfiksi dan fiksi, akademik dan populer, sebagai naskah penting-serius dan tidak serius. Simaklah karya Voltaire (sastrawan Prancis) dan Bertrand Russel (pengarang dan filsuf Inggris), umpamanya, baik yang fiksi maupun nonfiksi, yang ternyata menjadi sumber rujukan penting dalam kajian filsafat, sastra, sosial, budaya, dan politik.

Spirit seperti itu bisa dibaca pada hampir semua karya Karen Armstrong seperti Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis atau Sejarah Tuhan. Ditulis dalam bahasa yang ringan dan segar, karya tersebut bisa kita baca sembari menikmati secangkir kopi di sore hari. Mungkin dahi Anda baru akan berkerut setelah usai membaca karya bekas biarawati itu.

*) Majalah Tempointeraktif, 9 Mei 2011

Tuesday, 10 May 2011

Pustaka Kaum Cendekia

Oleh: Muhidin M Dahlan

Jika British Library mendefinisikan perpustakaan sebagai ruang mengumpul-organisasikan informasi; tempat menciptakan akses agar pengetahuan jadi lebih demokratis; maka Pondok Baca NH Dini ditujukan untuk berbagi kepada sekumpulan anak-anak di sekitarnya agar mendapatkan kesempatan mengekplorasi imajinya atas buku cerita.

Pondok Baca yang didirikan Nh Dini pada 1983 mula-mulanya ruang tapa yang sangat personal bagi Dini untuk menciptakan cerita. Buku-buku di dalamnya menjadi semacam tiang-tiang tanpa batas yang memandu dan menemani waktu-waktu penciptaan. Dan ruang tapa personal itu kemudian dibuka untuk akses publik. Goenawan Mohamad yang pada tahun 1973 memberi stempel Nh Dini sebagai pengarang egois membayarnya dengan Pondok Baca.

Upacara cendekia membuka diri kepada publik via perpustakaan sebagaimana dilakukan sastrawan Dini itu banyak kita temui dalam kronik perbukuan Indonesia. Koleksi gigantik tentu saja kepunyaan Sukarno dan Hatta yang tersebar di beberapa kota (koleksi Hatta terjengkang; sementara Sukarno pelan-pelan dibangun secara terpusat di Blitar).

Selain itu, yang fenomenal adalah koleksi kritisi sastra terpendang HB Jassin di mana ribuan data yang selama hayat menemaninya dalam berkarya diserahkan kepada publik yang mengejawantah dalam Pusat Dokumentasi Sastra di Jakarta. Ada juga penyair Dorothea Rosa Herliani di Magelang yang membuka koleksi pribadinya dalam sebuah dunia kecil bernama Dunia Tera.
Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra mengambil jalan yang sama. Koleksi buku yang dikumpulkannya sejak mahasiswa menyulap rumahnya di Ciputat, Jakarta, menjadi perpustakaan dan bisa dimanfaatkan orang banyak.

Rizal Mallarangeng di bawah bendera Freedom Institute membuka koleksi-koleksi yang tersegmentasi dan kurasi tema ketat dalam sebuah ruang yang nyaman. Di Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta secara bertahap ratusan ribu koleksi Rahzen dibuka dan diperuntukkan kepada masyarakat lewat jaringan perpustakaan Gelaranibuku.

Di Surabaya,  aktivis budaya Baperki dan wartawan Trompet Masjarakat di masa lampau, Oei Hiem Hwie, menyerahkan ribuan judul buku dan majalah lama yang menjadi koleksi kebanggaannya kepada publik. Di bawah naungan Perpustakaan Medayu Agung, siapa pun boleh membaca sekira 1.700 buku langka dan ribuan kliping dari koran-koran tua.

Patut juga disebut Ali Hasjmy. Gubernur Aceh saat pergantian Orde Lama ke Orde Baru ini dikenal sebagai cendekia yang rajin menyimpan semua dokumen sejarah. Koleksi itulah yang menghuni perpustakaan di rumahnya yang dibuka sejak 1970-an.

Demikian pula Monsinyur Andreas Petrus Cornelis Sol yang menjadi pustakawan bagi perpustakaannya sendiri di usianya yang nyaris 100 tahun. Ia menamai perpustakaannya dengan Rumphius yang diambil sebagai penghormatan atas usaha biolog Jerman, Georg Everhard Rumphius (1627-1702). Sosok ini banyak menulis artikel ilmiah tentang tetumbuhan dan binatang di kawasan Maluku paruh kedua abad ke-17. Seperti dilaporkan Ruang Baca (2005), Perpustakaan Rumphius berisi koleksi yang menjadi minat Sol, seperti literatur mengenai Maluku, terutama tentang kesenian di Maluku Tenggara, Tanimbar, dan Kei. Bahkan karya-karya lama turut diperlihatkan kepada publik setempat.

Yang dilakukan cendekia-cendekia itu bukan fenomena yang marak. Ini mungkin semacam pemberitahuan terbatas tentang arti berbagi. Berbagi tentang bagaimana buku-buku itu menjadi pemandu kesadaran untuk menjadi manusia dengan wawasan luas. Walau berskup sangat kecil, kehadiran perpustakaan-perpustakaan yang bertiwikrama dari rak-rak pribadi menjadi perpustakaan komunitas itu memiliki keunikan.

Pertama, buku-buku yang terkoleksi adalah pilihan dan sekaligus sebagai rekam jejak pengetahuan yang bersifat personal. Memasuki perpustakaan ini sama halnya memasuki sebuah gagasan besar sang tokoh bagaimana sebuah buku hadir. Di sini, masyarakat pengunjung bukan hanya berhadapan dengan buku, tapi juga mempelajari bagaimana saraf pengetahuan mengekalkan jalan sang pengumpul buku sepanjang hayat kecendekiaannya.

Kedua, membagi koleksi yang awalnya tertutup kepada masyarakat di selingkungannya, selain sebagai usaha yang filantropis, bisa juga dipandang sebagai pertanggungjawaban sosial dalam bentuknya yang terbatas.
Karena koleksi yang tersaji bersifat sangat personal, perpustakaan ini menjadi unik. Unik dalam koleksi, kategorisasi buku, penataan, maupun bentuk pelayanan.

Taman Poestaka, Taman Bacaan
Membuat perpustakaan-perpustakaan kecil tentu bukan sesuatu yang baru. Di masa Hindia Belanda gerakan perpustakaan masuk ke desa-desa dan sekoah sudah dilakukan di bawah bendera Volkslectuur atau Balai Poestaka. Perpustakaan itu bernama “Taman Poestaka” , perpustakaan-perpustakaan Volkslectuur untuk penduduk Pribumi (Jedamski, dalam Chambert-Loir, 2009: 674). Perpustakaan keliling juga dihadirkan dengan nama Mobil-Buku (Furnivall, 2009: 445).

Tradisi panjang itu masih diadopsi terus-menerus. Taman Poestaka di masa Hindia Belanda menjadi Taman Bacaan Masyarakat saat ini. Mobil Buku menjadi Perpustakaan Keliling. Asumsi pendiriannya tak jauh beda. Di masa Hindia Belanda, selain menjadi kooptasi bacaan atas merebaknya bacaan-bacaan liar dari aktivis pergerakan, juga menyebarkan bacaan-bacaan yang tidak bertentangan dengan ideologi negara.
Di perpustakaan kecil buatan pemerintah ini, buku tidak dipandang sebagai organisme hidup yang membawa wangi-wangi pengetahuan yang rupa-rupa corak dan ideologinya. Buku menjadi semacam proyek politik. Ada konsensus yang tak tertulis, bacaan-bacaan yang membahayakan “keselamatan dan kestabilan” negara pastilah disingkirkan. Wajar kemudian, di masa Hindia Belanda dan Orde Baru, buku-buku terbitan pemerintah atau buku beroleh restu yang paling banyak tersedia.

Sensor yang keras memang tak lagi terasa menyengat di era reformasi yang dilakukan oleh pemerintah. Namun sensor atas bacaan-bacaan liar dan vulgar itu bertiwikrama dalam tangan-tangan vandal sekelompok masyarakat.

Berlainan dengan perpustakaan yang lahir dari koleksi pribadi para cendekia. Di ruang ini, perpustakaan menemukan pengertiannya yang esoteris, sebagaimana dilukiskan Umberto Eco dalam The Name of the Rose: “di sana terdapat banyak ruang, dan di setiap ruang terdapat lemari-lemari, rak-rak, buku-buku, halaman-halaman… dan sementara itu di luar perpustakaan ada kuil, ada…. Dan, yang manakah sastra dunia? Perpustakaan tersebut? Kuil tersebut? Ataukah dapur tempat siapa pun yang lapar datang ke sana?”
Kepada “mereka yang lapar” itulah perpustakaan cendekia itu hadir, walau tak segigantik beban yang dipundaki perpustakaan-perpustakaan negara semacam British Library atau Library of Congress, yakni memposisikan diri sebagai penyelamat “national memory”. Di sini, ruang kecil itu sudah cukup nyaman dan adil bagi teraksesnya semua jenis buku: saleh atau salah, jinak atau liar, alim atau vulgar.

Setiap tahun, pemerintah via Departemen Pendidikan Nasional terus-menerus membangun perpustakaan kecil. Kita memang memerlukan puluhan ribu perpustakaan kecil untuk menjangkau ratusan juta jumlah warga, yang dalam kata-kata mantan Kepala Pusat Pengembangan Perpustakaan dan Pengkajian Minat Baca Perpustakaan Nasional Republik Indonesia T. Syamsul Bahri (2009): “sudah minat bacanya rendah, koleksinya juga yang tidak bertambah.”

Tapi jangan juga dilupakan kehadiran perpustakaan khusus yang dikelola secara unik dengan pendanaan yang sangat minimun oleh kelompok kecil cendekia yang menjadi teladan bagaimana buku bertiwikrama dalam laku hidupnya.

Kehadiran perpustakaan khusus itu mestilah dipandang sebagai aset budaya bangsa yang berharga. Sebagai aset, tentu perpustakaan akan diperlakukan selayaknya aset dalam sebuah usaha ekonomi. Sebab jika tidak, nasibnya akan sama dengan perputakaan Hatta di Yogyakarta atau perpustakaan-perpustakaan cendekia lainnya di pelbagai kawasan. Serupa koleksi-koleksi buku mantan perdana menteri di masa pemerintahan Sukarno, Ali Sastroamodjojo, yang terserak di lapak-lapak gelap perbukuan Jakarta.

Catatan: Edisi lebih ringkas dimuat Harian Kompas, 10 Mei 2011

Sunday, 8 May 2011

Perjuangan Dua Dekade Seorang Pustakawan

SUDUT belakang sekolah. Gelap, pengap, dan sunyi. Begitulah ruang perpustakaan zaman dahulu. Ditambah lagi, karakter penjaga yang sering sinis dan suka marah. Tak jarang, orang mengonotasikan perpustakaan dengan tempat-tempat menyeramkan bak di film-film horor.
Imej itu yang hendak didobrak Siti Esjah, koordinator Perpustakaan SMP 4 Samarinda. Selama dua dekade, perempuan berjilbab ini mengabdikan diri untuk memberdayakan perpustakaan. Begitu banyak kenangan dalam 20 tahun perjalanannya.
Duka terdalam, menurut ibu empat anak ini, saat kebakaran melanda seluruh gedung sekolah dan tak satu buku pun yang tersisa di perpustakaan. Memori pada 1989 silam itu masih belum lekang dari ingatannya.
“Perlu tenaga ekstra dan waktu lama mendapatkan buku-buku lagi,” kenangnya. Mulai melobi ke Dinas Pendidikan, Perpustakaan Daerah, dan penggalangan dana, pernah dia lakukan untuk menghidupkan kembali perpustakaannya. Kerja kerasnya kini telah membuahkan hasil. Sebanyak 8.557 eksemplar buku fiksi dan nonfiksi memenuhi rak-rak di ruangan bagian muka gedung SMP 4 ini.
Sejak didaulat sebagai koordinator perpustakaan SMP 4, perempuan kelahiran 1957 ini menjalankan tugasnya dari pukul 08.00 hingga 14.00 Wita. Mulai Senin hingga Sabtu. Dengan senyum ramah dan keibuan, Esjah (panggilan akrabnya) mengarahkan siswa-siswa yang mengunjungi perpustakaan.
“Anak-anak di sini mudah diarahkan. Kalaupun ada kenakalan, ya, sebatas ribut dan meletakkan buku sembarangan,” ujarnya. Menurutnya berinteraksi setiap hari dengan para siswa yang berkunjung memberikan kesenangan tersendiri. “Sering berkumpul dengan anak muda kan bisa awet muda,” candanya.
Tentang imej penjaga perpustakaan yang sinis dan pemarah, nenek delapan cucu ini mengaku, dirinya tidak setuju. “Nanti anak-anak malah tidak mau ke perpustakaan jika penjaganya menyeramkan,” kelitnya.
Menurutnya, ramah dan senantiasa menyapa pengunjung dengan senyuman akan membuat mereka nyaman dan selalu ingin menghabiskan waktu luang untuk belajar di perpustakaan.
Setiap hari, Esjah dan tiga stafnya bekerja sama menciptakan suasana nyaman di lingkungan perpustakaan. Selain itu kegiatan “menyiangi” buku juga rutin mereka lakukan terlebih ketika musim ujian berakhir dan siswa mulai mengembalikan buku pinjaman. Kegiatannya meliputi memilah-milah buku yang rusak, mengelem dan menyusunnya kembali berdasarkan jenisnya.
Esjah berharap, dengan memaksimalkan peran perpustakaan, generasi pembaca akan meningkatkan mutu pendidikan. (*/ekf)


Source